KPK Dalami Dugaan Korupsi Kuota Haji 2023–2024, Tujuh Saksi Travel Dipanggil ke Polda Jatim

Rabu 24 Sep 2025 - 19:43 WIB
Reporter : Aldo
Editor : Ros Suhendra

Awal Terbongkarnya Kasus

Kasus ini mulai mencuat sejak KPK pada 9 Agustus 2025 mengumumkan adanya penyidikan terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam penentuan dan pengelolaan kuota haji. Langkah tersebut diambil hanya dua hari setelah penyidik lembaga antirasuah meminta keterangan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus 2025.

BACA JUGA:KPK Sita Dua Rumah Rp6,5 Miliar, Diduga Terkait Korupsi Kuota Haji

BACA JUGA:KPK Bongkar Dugaan Jual-Beli Kuota Haji 2024, Kerugian Negara Capai Rp1 Triliun

Tak berhenti di sana, KPK kemudian berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menelusuri potensi kerugian keuangan negara. Hasil penghitungan awal yang diumumkan pada 11 Agustus 2025 cukup mengejutkan: nilai kerugian diperkirakan menembus lebih dari Rp1 triliun. Bahkan, untuk mencegah penghilangan barang bukti dan potensi kaburnya saksi kunci, KPK sempat mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, termasuk mantan Menag Yaqut.

Sorotan DPR Lewat Pansus Angket

Selain KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga turut melakukan investigasi. Dari hasil temuan sementara, DPR menyoroti adanya kejanggalan dalam distribusi kuota tambahan yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi pada 2024.

Saat itu, dari total 20.000 kuota tambahan, Kementerian Agama menetapkan pembagian 50:50, yakni 10.000 untuk jamaah haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

Namun, skema tersebut dinilai menabrak aturan yang tertuang dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Regulasi jelas menyebut bahwa porsi haji khusus hanya sebesar 8 persen, sementara 92 persen harus dialokasikan untuk haji reguler.

Dampak dan Harapan Publik

Kasus ini menjadi sorotan luas karena menyangkut kepentingan umat Islam Indonesia yang setiap tahun menunggu antrean panjang untuk berangkat haji. Rata-rata waktu tunggu bisa mencapai 10–30 tahun di sejumlah daerah. Oleh sebab itu, dugaan penyalahgunaan kuota haji memicu kekecewaan besar di masyarakat.

Pengamat hukum menilai, jika praktik korupsi dalam pengelolaan ibadah haji benar-benar terbukti, maka hal ini bukan sekadar tindak pidana biasa, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah umat.

Publik kini menunggu konsistensi KPK dalam membongkar kasus besar ini. Transparansi diharapkan dapat diprioritaskan, agar masyarakat mengetahui sejauh mana mafia kuota haji bermain dan siapa saja pihak yang harus bertanggung jawab.

Kategori :