Fenomena Body Count Ketika Ranah Pribadi Jadi Sensasi dan Dianggap Prestasi
--
Istilah "body count" pertama kali muncul dalam konteks militer, digunakan untuk menghitung jumlah musuh yang tew4s dalam pertempuran. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah ini telah berubah maknanya dan kini merujuk pada jumlah pasangan seksual yang pernah dimiliki seseorang.
Bersama Psikolog Iswan Saputro dan tim konten dari KlikDokter, kita akan akan mengulas singkat tentang fenomena "body count" dalam konteks kesehatan mental, membahas perubahan makna istilah ini, dampaknya pada individu, serta pentingnya kesadaran akan konsekuensi kesehatan mental dan fisik yang mungkin timbul dari perilaku gonta-ganti pasangan.
Transformasi Istilah "Body Count"
Menurut kamus Merriam-Webster istilah "body count" digunakan dalam konteks militer untuk mengukur jumlah may4t (musuh) yang tew4s dalam pertempuran. Penggunaan istilah ini berkaitan dengan aspek fisik dan konfrontasi.
Namun, seiring berjalannya waktu, makna istilah "body count" telah berubah secara drastis dalam konteks pergaulan orang dewasa. Kini, istilah ini merujuk pada jumlah pasangan s3ksual yang pernah dimiliki seseorang dalam hidup mereka.
Transformasi ini mencerminkan perubahan budaya dan sosial yang memandang perilaku seksual individu sebagai sesuatu yang dapat dihitung dan diukur. Di Indonesia sendiri, istilah tersebut sempat viral di media sosial TikT0k di akhir 2022 hingga awal 2023 saat seorang public figure bercerita tentang perilaku gonta-ganti pasangan s3ksualnya.
Pembahasan tentang body count bahkan dianggap obrolan biasa dalam pergaulan. Namun, yang perlu disadari dan dikendalikan adalah jangan sampai menjadikan body count sebagai pencapaian untuk menaikan harga diri (self-esteem) atau validasi dalam pergaulan.
Body Count Bukan Pencapaian
Perilaku s3ksual, termasuk body count, bijaknya adalah informasi pribadi yang perlu dijaga. Namun, kebebasan berpendapat dan terbukanya informasi di media sosial membuat hal ini bisa menjadi konsumsi publik.
Jika perilaku s3ksual dianggap dan dijadikan tolak ukur seberapa dewasa seseorang dalam hidup adalah hal yang keliru. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa aktivitas s3ksual merupakan kebutuhan psikologis dasar manusia dan bukan merupakan aktualisasi diri atas potensi yang dimiliki.
Jika perilaku s3ksual dijadikan sebuah pencapaian dalam standar sosial, maka tatanan nilai moral yang ada di masyarakat akan terganggu. Nilai moral menjaga keseimbangan dalam hidup dan melatih kontrol diri dalam berperilaku.
Ketika pembahasan tentang body count dianggap hal yang biasa, secara kolektif akan menciptakan persepsi perilaku s3ksual adalah pencapaian dan tidak memiliki konsekuensi jika melakukannya. Salah satu risiko dari perilaku s3ksual dengan banyak orang adalah penyakit menular s3ksual (PMS).
Masih banyak cara untuk mendapatkan pencapaian dalam standar sosial selain perilaku s3ksual melalui body count. Aktualisasi diri dengan aktivitas yang lebih positif juga dapat meningkatkan harga diri (self-esteem) tanpa mengganggu tatanan norma atau budaya di Indonesia.
Penyakit Menular S3ksual akibat Gonta-ganti Pasangan