JAKARTA, KORANPRABUMULIHPOS.COM - Ketua DKPP RI, Heddy Lugito, mengungkapkan bahwa hingga Oktober 2024, pihaknya telah menerima sebanyak 568 aduan terkait dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP).
"Perlu saya sampaikan bahwa DKPP saat ini mengalami lonjakan perkara. Dalam sepuluh bulan terakhir, dari Januari hingga Oktober, jumlah aduan yang diterima mencapai 568, yang berarti hampir dua aduan per hari," ungkap Heddy saat memulai sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran KEPP di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Rabu.
Ia meminta agar para pelapor memahami situasi tersebut. Heddy menekankan bahwa DKPP tidak bermaksud menunda-nunda, melainkan memproses setiap laporan berdasarkan urutan yang masuk.
"Kita tidak dapat memprioritaskan kasus tertentu karena semuanya adalah prioritas. Itulah kondisi yang sedang terjadi di DKPP," tuturnya.
BACA JUGA:Strategi KPU RI: Menjamin Keabsahan Suara Melalui Posisi Saksi dan Pengawas
BACA JUGA:Akademisi Peringatkan KPU: Validitas Data Sirekap Kunci Keberhasilan Pilkada 2024
Heddy memprediksi jumlah aduan ini akan terus bertambah seiring dengan berlanjutnya proses Pilkada Serentak 2024. DKPP juga mulai menerima aduan terkait pelanggaran dalam konteks Pilkada.
"Kasus-kasus yang terkait dengan pemilu legislatif dan pemilihan presiden kemungkinan tidak akan selesai tahun ini dan akan berlanjut hingga tahun depan," jelasnya.
Sebelumnya, pada 15 Mei, Heddy menyatakan bahwa pada tahun 2023, DKPP telah menangani 325 perkara.
Sekitar setengah dari jumlah tersebut berkaitan dengan rekrutmen penyelenggara Ad Hoc oleh KPU.
BACA JUGA:Bawaslu Mengizinkan Kampanye Kolom Kosong, Tapi...
BACA JUGA:Bawaslu RI Awasi Penetapan Calon Kepala Daerah
"Di tahun 2023, kami menangani 325 aduan, dan 50 persennya berkaitan dengan rekrutmen penyelenggara Ad Hoc oleh KPU," kata Heddy dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu malam.
Sebanyak 13 persen atau 82 kasus di antaranya berhubungan dengan rekrutmen badan Ad Hoc di Bawaslu. Heddy mengakui adanya masalah etika di antara penyelenggara KPU dan Bawaslu.
Ia menjelaskan bahwa masalah etika ini muncul akibat kurangnya transparansi dalam proses rekrutmen penyelenggara Ad Hoc, serta adanya keterlibatan anggota partai politik dalam struktur tersebut.(*)