Petani Tembakau Tolak Keras Pengetatan Aturan Rokok, Ini Alasannya
--
Jakarta - Petani tembakau dan cengkeh menolak keras rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif. Alasannya, karena aturan itu akan berdampak perkebunan pertembakauan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka.
Sekjen Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) I Ketut Budhyman Mudara menilai, RPP Kesehatan akan melarang total keberadaan produk tembakau dan turunannya. Hal ini tentu akan merugikan jutaan petani tembakau dan cengkeh.
"Kami dengan tegas menolak pasal pengamanan zat adiktif RPP tentang pelaksanaan undang-undang kesehatan dan meminta kepada pemerintah untuk pasal pengamanan zat adiktif untuk dikeluarkan dan dibahas terpisah demi demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata dia kepada detikcom, ditulis Rabu (22/11/2023).
"Karena RPP Kesehatan adalah regulasi yang sangat diskriminatif, tidak adil, menghina dan bermaksud menghilangkan mata pencaharian petani tembakau dan cengkeh," tambahnya.
Ia megungkap di Indonesia, ada 2,5 juta petani tembakau dan 1 juta petani cengkeh yang menggantungkan hidupnya pada perkebunan tersebut. Jika aturan pengetatan rokok diterapkan, maka sumber penghasilan jutaan petani itu akan hilang.
"Padahal, bagi para petani, tembakau adalah komoditas yang memberikan manfaat ekonomi yang tinggi, baik di daerah maupun nasional, daripada komoditas lainnya," jelasnya.
Petani meminta pemerintah memberikan perlindungan kepada petani tembakau agar tetap bisa memproduksi komoditas pertembakauan. Karena menurutnya hal ini juga sesuai dengan amanah Undang-Undang Perkebunan Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
"Kami berharap pemerintah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat memberikan perlindungan, agar kami dan seluruh elemen ekosistem pertembakauan tetap bisa bebas menanam komoditas legal apapun di ladang kami," jelas dia.
Selain itu, petani juga memohon agar pasal-pasal yang menyentuh industri tembakau dicabut. Pihaknya berharap ada uluran tangan pemerintah untuk mendorong perkembangan perkebunan pertembakauan.
"Kami petani memohon agar pasal-pasal yang berhubungan dengan industri hasil tembakau (IHT) dikeluarkan dari pembahasan RPP Kesehatan saat ini, dan dibuatkan PP terpisah yang dalam prosesnya lebih melibatkan seluruh pemangku kepentingan IHT," ujar dia.
Terpisah Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto melayangkan kritiknya pada penyusunan RPP tersebut. Menurutnya, apabila disahkan, rancangan peraturan turunan UU Kesehatan tersebut akan berdampak signifikan terhadap IHT. "Pasti akhirnya berguguran. Dan kalau (industri) berguguran, akibatnya pasti akan banyak PHK," kata Heri.
Ia mengambil Kota Malang sebagai contoh. Heri mengatakan, dulu di sana terdapat 367 perusahaan rokok. Sekarang, hanya tersisa 20 persennya saja atau sekitar 77 perusahaan.
Heri juga mengkritisi wacana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar rata-rata 10% untuk tahun 2024. Ia mengatakan pemerintah perlu melihat kondisi industri saat ini, salah satunya dari fakta merosotnya penerimaan CHT di tahun ini.
Menurut Heri, sejak penetapan kenaikan cukai multiyear sebesar 10%, target penerimaan Bea Cukai sepanjang 2023 masih tidak terpenuhi. Hingga September 2023, penerimaan Bea Cukai hanya tercatat senilai Rp144,8 triliun atau turun 5,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya, kenaikan ini berdampak pada kinerja industri hasil tembakau yang kian melemah.