KORANPRABUMULIHPOS.COM - Kasus Zahratushyta Dwi Artika, siswi kelas X dari MAN Kota Singkawang, menjadi perhatian nasional setelah ia diharuskan melepas jilbab saat bertugas sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79.
Keputusan ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan hak asasi manusia.
Zahratushyta: Pengorbanan Demi Tugas Negara
Zahratushyta, atau Sita, memiliki impian lama untuk menjadi anggota Paskibraka.
Namun, impian tersebut disertai dengan kegelisahan saat ia diberitahu bahwa ia harus melepas jilbab untuk menjalankan tugas tersebut.
Ibunya, Sugiarti, mengatakan bahwa Sita sudah mengetahui syarat ini sejak tahap seleksi wawancara.
"Sita sudah diberitahu sejak awal bahwa jika lolos, dia harus melepas jilbab. Dia menganggap ini adalah tugas negara, sehingga dia bersedia melakukannya," jelas Sugiarti pada 14 Agustus 2024.
Namun, keputusan ini menuai kritik tajam. Pada acara pengukuhan yang diadakan di Ibu Kota Negara (IKN) pada 13 Agustus 2024, semua anggota Paskibraka perempuan diminta untuk melepaskan jilbab mereka tanpa kecuali.
Protes dari Pegiat Hukum: Diskriminasi dan Pelanggaran Konstitusi
Kebijakan ini mendapat kecaman dari pegiat hukum. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Street Lawyer menganggap kebijakan ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap umat Islam.
Irvan Ardiansyah dari LBH Street Lawyer menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan nilai hak asasi manusia.
"Larangan jilbab ini menunjukkan adanya pelanggaran konstitusi dan Pancasila. Ini merupakan sikap anti-Bhineka Tunggal Ika yang memaksakan aturan tanpa mempertimbangkan keyakinan agama seseorang," kata Irvan.
Irvan membandingkan kebijakan ini dengan larangan serupa di Prancis terhadap atlet Muslimah di Olimpiade 2024 dan menegaskan bahwa tindakan ini harus dilawan agar tidak menjadi kebiasaan buruk.