Amnesty mendesak agar pengusutan kasus tidak hanya berhenti pada operator rantis yang ada di lapangan. Menurut Usman, rantai komando juga harus diperiksa secara transparan, termasuk siapa yang memberi instruksi. “Kalau hanya prajurit yang dikorbankan, sementara komando tetap aman, maka publik tidak akan percaya,” tambahnya.
IPW Dorong Evaluasi Menyeluruh
Suara kritis juga datang dari Indonesia Police Watch (IPW). Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menekankan bahwa kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak persoalan yang menumpuk. Selama ini, IPW kerap mengingatkan perlunya evaluasi menyeluruh, mulai dari tingkat direktorat, polda, hingga polres.
BACA JUGA:Polres Prabumulih Jadi Lokasi Riset Puslitbang Polri soal E-MP dan Ketahanan Pangan
Menurut Sugeng, tanpa perubahan mendasar dalam sistem pengawasan dan pembinaan internal, reformasi Polri hanya akan berhenti sebatas jargon. “Publik butuh bukti nyata, bukan lagi sekadar janji,” katanya.
Kapolri Minta Maaf
Menanggapi desakan yang semakin kuat, Jenderal Listyo Sigit Prabowo akhirnya menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada keluarga korban dan masyarakat. Ia menegaskan proses hukum terhadap anggota yang terlibat sedang berjalan dan berjanji akan mengawal jalannya penyelidikan.
Namun, mengenai tuntutan agar dirinya mundur, Sigit memilih untuk menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden. “Soal jabatan Kapolri adalah hak prerogatif Presiden. Sebagai prajurit, saya siap kapan saja,” ujar Sigit.
Pernyataan ini membuat arah kebijakan kini berada di tangan Presiden. Apakah Presiden akan mempertahankan Sigit demi stabilitas, atau justru melakukan evaluasi menyeluruh untuk meredam krisis kepercayaan publik terhadap Polri.
Krisis Kepercayaan Publik
Kasus Affan Kurniawan hanya menambah panjang daftar insiden yang membuat citra Polri terpuruk. Fenomena no viral, no justice—di mana sebuah kasus baru ditangani serius setelah viral di media sosial—semakin menegaskan rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
Di tengah situasi ini, suara masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga HAM kian bulat: pembenahan Polri tidak bisa lagi ditunda. Reformasi sejati harus dimulai dari pucuk pimpinan.
Kini publik menunggu, apakah tragedi yang menelan korban jiwa ini akan menjadi momentum lahirnya perubahan besar di tubuh Polri, atau sekadar menjadi catatan hitam yang kembali dilupakan seiring berjalannya waktu.