Maskapai Minta Aturan Tarif Batas Atas Dihapus, Harga Tiket Sesuai Pasar
Ilustrasi tiket pesawat - Foto: Getty Images/iStockphoto/Zhanna Danilova--
Jakarta - Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/Inaca) mengusulkan agar tarif penerbangan disesuaikan dengan mekanisme pasar. Asosiasi meminta aturan tarif batas atas lebih baik dihapus.
Menurutnya, penentuan tarif tiket pesawat harus dikaji ulang untuk memberi fleksibilitas bagi maskapai dalam menyesuaikan tarifnya. Hal ini dinilai dapat memberikan keberlanjutan bisnis penerbangan di Indonesia.
"Salah satu usulan kita kalau bisa tarif batas atas ini ditiadakan, sehingga harga tiket ini nanti menyerahkan ke mekanisme pasar," ujar Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja usai melaksanakan Rapat Umum Anggota (RUA) INACA, di Jakarta, ditulis Sabtu (5/11/2023).
Menurutnya, saat ini biaya operasional maskapai sudah terlalu tinggi. Dua hal utama yang membuat operasional maskapai membengkak adalah harga avtur yang makin mahal dan juga nilai tukar Dolar Amerika Serikat yang terus menguat.
Adapun penyesuaian terakhir tarif batas atas penerbangan dilakukan pada 2019. Sejak saat itu hingga sekarang belum ada peninjauan kembali soal tarif batas atas, padahal seperti yang sudah disampaikan Denon, harga avtur terus membengkak dan Dolar Amerika pun nilai tukarnya terus menguat.
"0erbaikan tarif penerbangan perlu segera dilakukan karena tarif yang berlaku sekarang ditetapkan pemerintah pada tahun 2019, di mana kondisi saat itu sudah berbeda dengan saat ini terutama dari sisi harga avtur dan nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS," beber Denon.
Usulan semacam ini memang sudah sering disuarakan pengusaha penerbangan. Sebelumnya, dalam acara Seminar Hari Penerbangan Nasional, pada 27 Oktober 2023 yang lalu, Presiden Direktur Lion Air Group, Daniel Putut Kuncoro Adi mengatakan aturan TBA memang bermasalah. Setidaknya, paling minimal pemerintah seharusnya melakukan peninjauan ulang pada batas tarif yang ada.
Lewat langkah ini, Daniel mengatakan beban di industri penerbangan bisa berkurang lewat penyesuaian tarif yang lebih leluasa dilakukan.
"Bahkan dengan menjual batas atas pun kita masih belum untung, kalo bicara profit ya. Tapi kita harus patuh ke pemerintah, jadi kita bergerak ke situ. Mohon sekali agar bersama-bersama cari solusi supaya industri penerbangan tetap eksis," ujar Daniel.
Pihaknya juga saat ini tengah menghadapi tantangan lainnya akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar dan perang Hamas-Israel. Kondisi ini menyebabkan sejumlah komponen biaya operasional bisa naik, maka dari itu seharusnya tarif juga bisa naik.
"Kita pendekatan ke pemerintah khususnya. Jangan sampe beban terlalu berat di industri penerbangan. Karena kalau misalnya komponen paling besar untuk pesawat itu kan bahan bakar, kita aja nggak sanggup beli, otomatis dengan harga yang diatur pemerintah kita nggak sanggup gerak, kita nggak bisa jalan," jelas Daniel.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra pun sudah pernah blak-blakan mengeluhkan tarif penerbangan domestik yang terlalu ketat penetapannya. Menurutnya, aturan soal tarif batas atas dan tarif batas bawah (TBA-TBB) membuat maskapai sulit menentukan harga jual yang layak untuk bisnisnya.
Hal ini berpengaruh kepada keuntungan yang didapatkan. Menurutnya, secara bisnis tarif yang dibatasi membuat perusahaan sulit mendapatkan keuntungan secara optimal. Bahkan, dengan tarif batas atas yang ada saat ini, mau okupansi pesawat penuh pun untungnya tetap tidak banyak.
"Domestik itu terikat di rezim TBA-TBB, harga itu kita nggak bisa jual bebas. Kalau di satu rute diterapkan satu harga yang maksimum terus kita terbangkan isi 90% dan juga masih minus kan, cuma orang bodoh yang mau terbang lanjutan," ungkap Irfan ketika berbincang bersama detikcom di kantornya, Kompleks Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, bulan Juli 2023 yang lalu.
Keluhan ini, menurut Irfan sudah berkali-kali diadukan ke Kementerian Perhubungan, Irfan pun secara tegas menyarankan agar ketentuan tarif batas dihilangkan saja. Cuma selama ini memang usulan itu ditolak mentah-mentah Kementerian Perhubungan sebagai regulator.
"Makanya kita juga terus menerus pembicaraan ke Kemenhub, kita menganggap bahwa sebaiknya itu tarif lebih dibebaskan dalam menentukan harga. Selama ini sih memang ditolak," ujar Irfan.
"Kita sih masih diskusi terus daripada Anda salah mending dibuka aja, sehingga kita bisa jual di harga yang menurut kita menguntungkan," katanya. (dc)