Waspada! Flexing Berlebihan Bisa Rusak Kesehatan Mental dan Relasi Sosial

Waspada! Flexing Berlebihan Bisa Rusak Kesehatan Mental dan Relasi Sosial--
KORANPRABUMULIHPOS.COM – Tren flexing atau pamer pencapaian kini begitu akrab di dunia maya. Dari unggahan barang branded, liburan mewah, hingga sederet prestasi, konten seperti ini mudah sekali ditemui di lini masa media sosial. Meski terlihat glamor, perilaku tersebut tidak selalu bebas dari konsekuensi, terutama bagi kesehatan mental.
Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menjelaskan, Rabu (3/9/2025), bahwa flexing sebenarnya wajar selama dilakukan dalam batas kendali.
“Secara alami, manusiawi untuk berbagi kebahagiaan. Namun, jika berubah menjadi kebutuhan konstan, itu bisa menimbulkan masalah,” jelasnya.
Awalnya, flexing dipandang sekadar ekspresi diri. Tetapi di era digital, maknanya kerap bergeser menjadi upaya mencari validasi. Fionna menekankan, tanda bahaya muncul ketika seseorang merasa cemas atau kecewa hanya karena unggahan mereka tidak mendapat banyak respons.
“Jika setiap postingan harus ditunggu-tunggu reaksinya, lalu muncul rasa tidak berharga saat validasi tak datang, itu sinyal yang perlu diwaspadai,” katanya.
Kondisi ini dapat memicu masalah psikologis awal seperti rendah diri, kecemasan, bahkan perasaan tidak berarti. Dalam jangka panjang, flexing berlebihan bisa berkembang menjadi kecanduan—dorongan untuk terus mengunggah demi pujian publik. Tak jarang, perilaku narsistik juga muncul, misalnya merasa wajib dipuji atau merendahkan orang lain.
“Ketika sampai tahap itu, relasi sosial bisa terganggu. Lingkungan sekitar merasa tidak nyaman,” tambah Fionna.
Efek negatif flexing bukan hanya pada individu, tetapi juga pada interaksi sosial. Jika orang di sekitar mulai merasa risih, itu tanda kuat bahwa perilaku tersebut sudah melewati batas wajar.
Meski begitu, Fionna mengingatkan pentingnya tidak melakukan self-diagnose. “Kalau merasa terganggu, lebih baik konsultasi ke psikolog atau tenaga profesional,” sarannya.
Menurutnya, kunci pencegahan ada pada kesadaran diri. Setiap orang perlu menilai apakah kebiasaan flexing masih sebatas apresiasi diri atau sudah mengganggu diri sendiri dan orang lain.
“Pertanyaan sederhana: apakah saya atau orang terdekat merasa tidak nyaman dengan kebiasaan ini?” ujarnya.
Flexing sendiri tidak selalu buruk. Selama dilakukan proporsional, ia bisa menjadi bentuk apresiasi dan motivasi. Namun, jika dijadikan satu-satunya sumber harga diri, risiko tekanan psikologis dapat meningkat dan berujung pada lingkaran kecemasan yang sulit dihindari. (*)