Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda mengirimnya ke Aceh untuk mengamati rakyat di sana. Selama di Aceh, Snouck sukses menulis buku De Atjeher yang sangat bermanfaat bagi pemerintah kolonial mengatasi gejolak perlawanan masyarakat Aceh.
Rupanya, saat di Aceh yang menjadi sorotan adalah kebiasaan warga membeli baju baru ketika lebaran. Dalam Aceh di Mata Kolonialis (1906), Snouck bercerita kalau pasar penjualan baju dan barang sejenis di akhir masa puasa jauh lebih dipadati warga dibanding penjualan daging atau hewan.
Hal ini bisa terjadi, diungkapkan Snouck, karena setiap orang ingin berbaju baru pada hari raya. Pasalnya, dalam budaya Aceh, kasih sayang atau penghargaan suami ke anak atau istri diukur dari barang belanja dari pasar, mulai dari daging hingga baju baru.
Namun, sebelum mengenakan baju baru, ada satu syarat dahulu yang harus dilaksanakan warga, yakni membayar zakat fitrah.
Jadi, mengenai baju baru, seseorang harus telah membayar zakat fitrah nya. Jadi setelah membayar zakat fitrah, barulah warga memakai baju baru saat lebaran tiba.
Tak hanya itu, pada hari raya, dengan menggunakan pakaian atau baju baru, masyarakat melakukan kunjungan atau bersilaturahmi dengan tetangga atau kerabat untuk mengucapkan selamat dan saling bermaaf-maafan.
Selain di Aceh, Snouck juga mengamati ada kejadian serupa di Batavia (kini Jakarta). Dalam surat kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri tanggal 20 April 1904, Snouck menulis bahwa saat lebaran terdapat banyak pesta yang disertai hidangan makanan khas lebaran, silaturahmi ke kerabat, pembelian pakaian baru, dan hiburan.
Bahkan, Snouck juga mencatat, pembelian pakaian baru, petasan dan makanan bisa memakan uang lebih banyak dibanding hari biasanya.
Mengenai tradisi membeli baju Lebaran ini terjadi karena warga menganggap lebaran sebagai hari yang istimewa.
"Di antara hari-hari peringatan yang sekali setahun berulang dan yang bagi seluruh penduduk berlaku demikian, Lebaran yang mengakhiri ibadah puasalah yang paling terkemuka, dan itu tak dapat dibantah," tulis Snouck, dikutip dari Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Jilid IV (1991).
Terkait hal itu, sehingga membuat banyak pejabat kolonial yang menganggap perayaan lebaran sebagai pemborosan dan mendesak peniadaan perayaan lebaran. Bahkan, menyebutnya sebagai bencana ekonomi.
Namun, Snouck mengatakan desakan itu tak perlu terwujud dan sebutan lebaran sebagai bencana ekonomi berlebihan. Sebab, perayaan lebaran sudah menjadi kebiasaan umat Muslim di Indonesia.
Jadi, pada akhirnya, pernyataan Snouck itu terbukti, lebaran dan berbagai kebiasaan yang mengikuti, termasuk beli baju baru, tetap berlangsung hingga sekarang.
Sementara menurut Islam menganjurkan setiap muslim untuk tampil terbaik pada hari raya. Hal ini bisa dilakukan dengan mengenakan pakaian yang bersih dan wangi serta dianjurkan pula untuk memotong rambut.
Jadi secara tidak langsung, kebiasaan membeli baju saat Lebaran ini bisa dihubungkan dengan ajaran Islam. (*)