Biaya Mahal Penghancur Mimpi, Apakah Kartu Indonesia Pintar akan jadi Solusi?
Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP K)--Foto:ist
Hal ini menjadi bukti atas lambannya pihak kampus dalam memasifkan kebijakan dan seakanakan berupaya untuk 'menodong' mahasiswa baru untuk menebus biaya pendidikan yang harus mereka bayar,kata di sebuah unggahan akun media sosial.
Adapun besaran nilai UKT yang dikenakan pada mahasiswa baru disesuaikan dengan tarif masing-masing prodi, pendapatan orang tua, dan jumlah tanggungan keluarga (perhitungan jumlah tanggungan keluarga termasuk orang tua dalam KK).
Rektorat mengimbau bagi calon mahasiswa baru agar pada saat melakukan registrasi online calon mahasiswa baru harus didampingi orang tua/wali untuk menghindari kesalahan pengisian data. Lalu apakah kipk ``kartu Indonesia Pintar kuliah‘‘ bisa membantu permasalahan di atas, dan apakah program tersebut telah berjalan dengan semestinya???
Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah merupakan sebuah program pemerintah berupa bantuan dana yang diberikan kepada calon mahasiswa yang berasal keluarga tidak mampu. Program ini sebagai pengganti dari bantuan bidikmisi yang telah diterbitkan pada sejak 2020. KIP Kuliah berbeda dari beasiswa yang berfokus pada memberikan penghargaan atau dukungan terhadap mereka yang berprestasi. Hal ini sesuai penjelasan dari Pasal 76 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Sasaran dari program ini yaitu calon mahasiswa yang berasal dari keluarga yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan pendidikan. Program ini menjadi salah satu peluang bagi calon mahasiswa yang berkeinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mengingat fasilitas yang ditawarkan dari program ini sangat membantu mereka dalam menunjang pendidikan.
Tetapi tidak jarang dari mereka yang memiliki kecukupan ekonomi tetap mendaftar sebagai peserta penerima KIP Kuliah. Masih banyak calon mahasiswa yang tidak bisa mendapatkan bantuan dana dari program ini karena adanya beberapa faktor yang menjadi penyebabnya.
Mulai dari sistem seleksi penerimaan, kuota penerimaan yang terbatas, hingga penerima yang salah sasaran. Terkadang kuota penerima yang seharusnya diperuntukkan bagi calon mahasiswa membutuhkan harus diambil alih oleh peserta lain yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Dalam praktiknya, pada saat pengumuman hasil peserta yang menerima program KIP Kuliah, diraih oleh peserta dengan kondisi ekonomi yang baik. Banyak dari mereka memanfaatkan kesempatan ini dengan menggunakan fasilitas KIP Kuliah tidak sesuai dengan fungsinya.
Seperti adanya gaya hidup hedonisme pada mahasiswa penerima program ini. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan awal dilaksanakannya program tersebut, karena pada hakikatnya program ini diperuntukkan bagi mahasiswa dengan kendala ekonomi dalam melanjutkan pendidikannya. Sehingga mereka sudah pasti mengalokasikan dana pendidikannya sebaik mungkin.
Target penerima KIP Kuliah yang salah sasaran tentunya terjadi bukan tanpa sebab. Terdapat beberapa faktor penyebab yang mengakibatkan target penerima program ini kurang tepat.
Penyebab utamanya tidak lain dari proses seleksi yang kurang optimal. Meskipun proses seleksi sudah berbasis pada sistem, tetapi data-data yang diinput oleh calon peserta dapat di manipulasi atau pendaftar tidak menggunakan daftarnya sendiri “data palsu” Seperti penghasilan orangtua, dapat dengan mudah direkayasa oleh sebagian calon peserta dengan membuat data palsu seolah-olah kondisi ekonomi calon peserta tersebut kurang memadai.
Bisa juga dengan membuat dokumen pendukung yang dibuat di kantor desa dengan bantuan orang dalam. Oleh karena itu, proses seleksi KIP Kuliah bisa dinilai kurang optimal karena masih terdapat target penerima yang salah sasaran.
Terlebih lagi, kuota penerimaan program ini sudah ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi yang pastinya berbeda dengan perguruan tinggi lain. Mahasiswa yang membutuhkan program KIP Kuliah harus bersaing dengan peserta lain mengingat terbatasnya kuota peserta.
Kondisi ini sangat memberatkan jika misalnya mahasiswa yang benar-benar membutuhkan. Mereka yang sudah berharap mendapatkan bantuan ini pasti merasa kecewa dengan hasil
yang didapatkan, karena mereka beranggapan dengan kondisi ekonomi yang kurang memadai dapat menjadi peluang untuk mendapatkan program tersebut.