Ketika Aspirasi Berubah Jadi Anarki: Demokrasi di Persimpangan Moral

--
Anarki hanya memperlihatkan wajah ketidakmampuan massa mengelola aspirasi secara bijak. Jika penjarahan dianggap wajar, berarti masyarakat telah kehilangan kompas etik.
Demokrasi sejati adalah ruang dialog yang sehat, bukan ajang kekerasan yang merugikan. Oleh karena itu, pandangan bahwa kerusuhan hanyalah konsekuensi dari dinamika politik jelas keliru dan menyesatkan, karena mengabaikan prinsip dasar keadaban bersama.
Hukum Islam dan Akhlak Umat
Dalam Islam, perbuatan anarkis dan menjarah termasuk dosa besar. Agama mengajarkan umatnya untuk menjauhi perbuatan merusak dan melindungi hak orang lain. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak boleh memberikan mudarat kepada diri sendiri maupun orang lain.” Hadis ini menjadi prinsip dasar bahwa setiap tindakan yang merugikan pihak lain hukumnya terlarang. Penjarahan, yang dilakukan dengan sengaja, lebih buruk karena menyatukan unsur pencurian dan kekerasan. Maka jelas bahwa tindakan ini bukanlah perjuangan, melainkan maksiat yang mencederai nilai keadilan, solidaritas, dan persaudaraan yang dijunjung tinggi Islam.
Al-Qur’an juga menegaskan larangan sikap berlebihan dan melampaui batas. Dalam surat An-Nisa’ ayat 171, umat diingatkan agar tidak melampaui batas dalam sikap. Demikian pula surat Huud ayat 112 memerintahkan untuk berlaku lurus dan adil tanpa tergelincir pada ekstremitas.
Metode dakwah dan perjuangan dalam Islam menekankan hikmah, nasihat baik, dan kelembutan hati. Prinsip ini menunjukkan bahwa kerusakan, kekerasan, dan anarki tidak pernah menjadi jalan Islam. Sebaliknya, perubahan sejati lahir dari ketenangan, kesabaran, dan kebijaksanaan, sebagaimana diteladankan Rasulullah SAW dalam dakwahnya.
Islam juga menekankan pentingnya menjaga stabilitas sosial. Ketika kerusuhan terjadi, bukan hanya pihak berkuasa yang terdampak, melainkan masyarakat kecil yang kehilangan penghasilan karena usaha mereka hancur. Dalam pandangan Islam, merugikan orang lain termasuk bentuk kezaliman yang dilarang keras.
Nabi menegaskan bahwa seorang Muslim sejati adalah yang mampu menjaga orang lain dari lisan dan tangannya. Oleh sebab itu, aksi anarkis yang menebar ketakutan dan menjarah harta orang lain adalah lawan dari akhlak mulia. Umat Islam harus menjadi pelopor damai, bukan sumber kerusuhan.
Refleksi Praktis dan Arah Solusi
Realitasnya, kerusuhan hanya memperburuk kondisi sosial. Korban utama bukanlah para penguasa, melainkan rakyat kecil. Pedagang kaki lima, pekerja harian, dan pemilik warung menanggung kerugian akibat fasilitas rusak dan lingkungan tidak aman.
Alih-alih memperjuangkan keadilan, anarkisme justru melahirkan ketidakadilan baru. Parahnya, tindakan itu memberi ruang bagi pemerintah untuk membatasi kebebasan dengan alasan keamanan.
Stigma negatif terhadap gerakan sosial semakin menguat. Padahal, aspirasi masyarakat bisa diperjuangkan melalui strategi damai, terstruktur, dan terfokus tanpa harus mengorbankan hajat hidup orang banyak.
Solusi atas persoalan ini adalah kolaborasi semua pihak. Aparat harus menegakkan hukum dengan adil dan tegas, sekaligus memberi ruang bagi aspirasi damai. Para ulama, tokoh agama, dan intelektual wajib mengedukasi masyarakat bahwa protes tidak identik dengan kekerasan.
Komunitas sipil dapat berperan sebagai mediator, memastikan aksi berjalan tertib dan aspirasi tersampaikan tanpa kerusuhan. Dengan sinergi ini, aksi massa bisa menjadi sarana demokrasi yang bermartabat. Masyarakat tidak lagi takut berdemonstrasi, karena yakin aspirasinya akan terdengar tanpa harus berujung pada kerusuhan.
Pada akhirnya, anarkis dan penjarahan bukanlah lambang perlawanan rakyat, melainkan kegagalan kolektif menjaga akhlak dan hukum. Baik hukum positif maupun syariat Islam sepakat menolak kekerasan.