Kardinal AS Terpilih Jadi Paus Leo XIV, Banyak Prediksi Meleset

--
KORANPRABUMULIHPOS.COM – Vatikan resmi menunjuk Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus baru dengan gelar Paus Leo XIV. Penunjukan ini membantah prediksi dari sistem kecerdasan buatan (AI) yang sebelumnya ramai diperbincangkan.
Setelah wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025, spekulasi mengenai siapa yang akan menggantikannya mencuat di kalangan umat Katolik dan publik internasional. Bahkan, sebuah studi berbasis AI turut memprediksi hasil pemilihan paus tersebut.
Sebuah makalah yang dipublikasikan di platform pracetak arXiv menggunakan model pembelajaran mesin (machine learning) untuk menganalisis kecenderungan ideologis dari 133 tokoh Gereja Katolik yang terlibat dalam proses pemilihan. Namun, dalam hasil analisanya, Kardinal Prevost sama sekali tidak termasuk dalam daftar kandidat teratas.
Dilansir dari Science.org, Jumat (9/5/2025), sistem AI memprediksi bahwa Kardinal Pietro Parolin dari Italia, yang menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan, akan menjadi paus selanjutnya. Walau hasil prediksi ini meleset, para ahli tetap menilai metode tersebut potensial untuk diaplikasikan pada bentuk pemilihan lain di masa depan.
AI tersebut menganalisis teks publik seperti unggahan media sosial dan pidato para kandidat. Meski metode ini terbukti akurat dalam konteks pemilu politik, pemilihan paus atau conclave memiliki tantangan tersendiri.
Conclave adalah proses tertutup yang berlangsung dalam beberapa putaran hingga salah satu kandidat memperoleh dua pertiga suara. Karena tidak ada survei maupun pemilihan pendahuluan, serta para kardinal diwajibkan menjaga kerahasiaan suara, data yang bisa dianalisis sangat terbatas.
"Pemilu biasanya menghasilkan banyak data. Sebaliknya, conclave sangat minim data," ujar Eugenio Valdano, epidemiolog dari lembaga riset biomedis Prancis, INSERM.
Ia menambahkan, proses pemilihan paus sangat berbeda dengan pemilu umum karena hanya melibatkan segelintir pemilih yang berasal dari lingkaran internal Gereja sendiri.
AI Prediksi Pemilihan Paus
Valdano bersama Michele Re Fiorentin dari Polytechnic University of Turin dan Alberto Antonioni dari University of Madrid mencoba merancang model prediktif pemilihan paus. Mereka mempelajari faksi-faksi ideologis di dalam Gereja, dengan memanfaatkan catatan 'silsilah' uskup selama lima abad terakhir.
Menurut mereka, penunjukan uskup atau kardinal oleh seorang paus biasanya dipengaruhi oleh kesamaan ideologi. Maka, dalam conclave, kemungkinan besar para pemilih juga akan memilih kandidat yang sejalan dengan pemikiran mereka.
Empat isu utama yang dipertimbangkan dalam model ini adalah sikap terhadap hubungan sesama jenis, isu migrasi dan kemiskinan, dialog lintas agama, serta sinodalitas (otonomi gereja lokal terhadap pusat).
Data publik dari pernyataan para kardinal digunakan untuk melatih model AI, yang kemudian mengelompokkan 135 pemilih berdasarkan kesamaan pandangan ideologis mereka. Dalam simulasi yang dijalankan selama delapan hingga sembilan putaran, kandidat terkuat yang muncul adalah Kardinal Parolin.
Selain Parolin, AI juga mengidentifikasi Uskup Agung Stephen Brislin dari Afrika Selatan sebagai kandidat kejutan. Ia dikenal sebagai tokoh moderat yang vokal dalam mendukung imigran dan pengentasan kemiskinan. Nama lain yang juga dipertimbangkan adalah Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina, yang dikenal ramah dan bisa memperkuat basis Katolik Asia.
Faktor-Faktor Tak Terduga Pemilihan Paus
Menariknya, jika prioritas para pemilih bergeser ke isu migrasi dan kemiskinan, maka Uskup Matteo Zuppi dari Italia—yang berpandangan progresif—menjadi kandidat unggulan.
Model menunjukkan bahwa pandangan Kardinal Prevost berada di tengah spektrum keempat isu utama, menjadikannya sebagai sosok kompromi yang mungkin disepakati oleh berbagai pihak. Penunjukan seorang paus dari Amerika Serikat juga diperkirakan dapat memperkuat basis Katolik di wilayah tersebut.
Namun, Fiorentin mengakui bahwa model mereka tidak mempertimbangkan variabel politik dan geografis yang bisa sangat memengaruhi hasil pemilihan. "Kurangnya informasi inilah yang menjadi kelemahan utama AI kami," ujarnya.
Ia menyebut bahwa meskipun penambahan data geografis memungkinkan, aspek geopolitik, lobi, dan dinamika internal lainnya tetap sulit diukur secara akurat.
Menurut Rohitash Chandra dari University of New South Wales, meski model ini inovatif, data yang digunakan masih terbatas. Ia menyarankan penggunaan data dari media sosial untuk memperkaya analisis. Namun, ia juga menekankan bahwa pendekatan ini masih bisa berguna untuk jenis pemilihan lain seperti pemilu daerah.
Sementara itu, Luigi Curini, pakar politik dari University of Milan, menyambut baik simulasi yang dilakukan oleh tim peneliti. Ia sepakat bahwa kesamaan ideologis menjadi faktor kuat dalam pemilihan, meski mengingatkan bahwa dinamika informal seperti interaksi sehari-hari antar kardinal juga turut berperan.
Peneliti menyimpulkan bahwa keterbatasan data historis membuat pemodelan conclave tetap menantang. Namun, proyek ini tetap menjadi eksperimen ilmiah yang menarik dan membuka potensi penelitian lanjutan di masa mendatang.