Menguak Pentingnya Aturan OTT, Regulasi WhatsApp Cs di Indonesia

Senin 01 Jan 2024 - 04:23 WIB
Reporter : Tedy
Editor : Tedy

Jakarta - Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan bahwa untuk menyehatkan industri seluler memang perlu ada regulasi untuk mengatur over the top (OTT).

Sigit menjelaskan jika saat ini masih terjadi ketimpangan pendapatan antara perusahaan operator telekomunikasi dengan perusahaan OTT secara global, seperti WhatsApp, Google, maupun X -dulunya Twitter-.

"Dari data SNS Insider, OTT secara global mampu meraup USD 295,24 miliar pada tahun 2021 dan kemungkinan akan tumbuh hingga USD 1.951 triliun pada tahun 2030," ujar Sigit dalam keterangan tertulisnya.

Ia pun menjabarkan perbandingan pendapatan telekomunikasi dengan OTT. Disampaikannya, pendapatan operator telekomunikasi pada tahun 2010 memang bisa mencapai USD 458 miliar dari SMS dan voice, sedangkan OTT dulu hanya USD 41 miliar USD.

BACA JUGA:Apakah Screenshot Stories Instagram Orang Lain Bisa Ketahuan?

"Tetapi, kini pada tahun 2021 terbalik, perusahaan telekomunikasi hanya mendapat 702 miliar USD sedangkan OTT 753 miliar USD. Prediksinya pendapatan OTT akan terus naik ke depannya," sambung Sigit.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi menuturkan perkembangan bisnis telekomunikasi terdestrupsi oleh perusahaan OTT yang membuat trafik voice dan SMS menurun.

"Perusahaan telekomunikasi hanya seperti penyedia pipa (dumb pipe) dengan capex dan apex yang besar. Sementara OTT berselancar di atas jaringan yang dibangun perusahaan telekomunikasi," kata Heru.

Hal tersebut yang membuat Heru berpendapat harus ada sumbangsih OTT untuk turut membantu operator telekomunikasi membangun infrastruktur digital. Caranya bisa dengan pajak digital hingga penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.

BACA JUGA:10 Game Steam Paling Sering Dimainkan Tahun 2023

Dia menambahkan Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah menerapkan digital services tax. Ia menilai ndonesia bisa belajar dengan sejumlah negara yang telah menerapkan digital services tax (DTS) seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda.

Tentu pemerintah harus segera membuat regulasi terkait OTT karena penting supaya OTT bisa turut mengambil beban universal service obligation (USO), lalu turut membayar biaya yang setara dengan biaya hak penyelenggara (BHP), turut membantu masyarakat yang dimarginalkan melalui CSR, hingga memperkuat kerjasama dengan operator.

"Bayangkan saja jika OTT mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), maka masyarakat di sana juga bisa mengakses OTT dan pendapatannya juga semakin meningkat," tandasnya. (dc)

 

Kategori :