JAKARTA, KORANPRABUMULIHPOS.COM - Ketentuan mengenai penetapan pemenang pemilihan kepala daerah yang hanya memiliki calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota (UU Pilkada) kini tengah diperdebatkan di Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Seorang seniman, M. Taufik Hidayat, bersama konsultan Doni Istyanto Hari Mahdi, sebagai pemohon dalam perkara uji materi nomor 139/PUU-XXII/2024, mempertanyakan Pasal 54D ayat (1) dan (2) UU Pilkada.
Mereka meminta MK untuk merubah syarat penetapan pasangan calon terpilih dalam situasi di mana hanya ada satu pasangan calon.
"Kerugian konstitusional yang dirasakan pemohon muncul ketika Pasal 54D ayat (1) dan (2) UU Pilkada diterapkan untuk membatasi partisipasi pemilih dalam pemilihan dengan hanya satu pasangan calon," ujar kuasa hukum pemohon, Aldi Indra Setiawan, dalam sidang pendahuluan di MK, Jakarta, Rabu.
BACA JUGA:Polri Siapkan Strategi; Meningkatkan Proporsi Polwan hingga 30 Persen
BACA JUGA:Taman Bacaan: Jendela Pengetahuan dan Kreativitas Masyarakat
Pasal 54D ayat (1) UU Pilkada menyatakan bahwa KPU provinsi atau kabupaten/kota dapat menetapkan pasangan calon terpilih pada pemilihan dengan satu pasangan calon jika memperoleh suara "lebih dari 50 persen dari suara sah."
Pemohon dalam perkara ini meminta agar ketentuan tersebut diubah menjadi pasangan calon terpilih ditetapkan jika memperoleh suara "lebih dari 50 persen dari daftar pemilih tetap (DPT)."
Di sisi lain, Pasal 54D ayat (2) UU Pilkada menyebutkan bahwa jika suara pasangan calon kurang, pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan diri lagi di pemilihan mendatang.
Para pemohon meminta agar pasangan calon yang kalah dalam pemilihan tunggal "dilarang" mencalonkan diri kembali dalam pemilihan berikutnya.
BACA JUGA:Rumah Mewah Bandar Narkoba di Palembang Disita BNN, Baru Selesai Dibangun dan Undang Warga Yasinan
BACA JUGA:Naomi Daviola, Remaja Pemberani yang Berhasil Selamat dari Gunung Slamet
Keduanya juga berharap agar ketentuan ini diterapkan sejak Pilkada 2024.
Menurut pemohon, ketentuan dalam Pasal 54D ayat (1) dan (2) UU Pilkada menciptakan celah hukum yang berpotensi mengganggu prinsip demokrasi dalam pelaksanaan pilkada.
Mereka khawatir penerapan kedua pasal tersebut akan mengarah pada penyelenggaraan pemilihan yang tidak demokratis.