Demokrasi di Persimpangan Moral
Demokrasi kita hari ini sedang berdiri di persimpangan moral. Di satu sisi, ia memberi ruang luas bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi; namun di sisi lain, ruang itu sering disalahgunakan hingga berubah menjadi kerusuhan.
Ketika moral publik terabaikan, demokrasi yang seharusnya menjadi jalan kebebasan justru tergelincir menjadi panggung anarki. Inilah ujian terbesar: apakah bangsa ini mampu menjaga kebebasan dengan tanggung jawab, atau membiarkannya runtuh oleh perilaku destruktif yang melukai keadilan sosial.
Persimpangan ini menuntut pilihan yang jelas. Jika kita menghendaki demokrasi yang sehat, maka aspirasi harus dijalankan dengan akhlak dan hukum sebagai fondasi. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi topeng bagi kerakusan dan kekerasan.
Bangsa ini harus berani mengatakan bahwa penjarahan dan anarkisme bukanlah suara rakyat, melainkan pengkhianatan terhadap nilai kebersamaan. Justru dengan menolak jalan kekerasan, kita sedang menjaga agar demokrasi tetap bernilai, bermartabat, dan dipercaya rakyat kecil sebagai sarana perubahan.
Demokrasi di persimpangan moral adalah peringatan bagi kita semua. Jika arah yang dipilih adalah kerusakan, maka bangsa hanya akan berjalan menuju keterpurukan.
Tetapi bila kita meneguhkan pilihan pada moralitas, hukum, dan akhlak, maka demokrasi akan tumbuh menjadi sarana mulia untuk memperjuangkan keadilan. Saat inilah keberanian moral dibutuhkan: berani bersuara tanpa merusak, berani berbeda tanpa membenci, dan berani memperjuangkan perubahan tanpa melukai. Dari persimpangan inilah masa depan demokrasi Indonesia akan ditentukan.(*)