Letusan Krakatau 1883: Langit Dunia Memerah, Matahari Hijau, dan Bulan Membiru

Minggu 17 Aug 2025 - 11:10 WIB
Reporter : Tedy
Editor : Tedy

KORANPRABUMULIHPOS.COM – Musim gugur tahun 1883 di Eropa dan Amerika berjalan sangat berbeda dari biasanya. Langit kala senja dipenuhi cahaya merah menyala dengan kilatan hijau dan ungu, sementara di malam hari, Bulan memancarkan cahaya biru yang aneh. Fenomena atmosfer menakjubkan ini berakar dari letusan dahsyat Gunung Krakatau di Selat Sunda, Indonesia.

Gunung yang berada di antara Pulau Jawa dan Sumatra itu meletus hebat pada 27 Agustus 1883 setelah berbulan-bulan menunjukkan aktivitas vulkanik. Daya ledaknya diperkirakan setara dengan bom berkekuatan 200 megaton—jauh melampaui kekuatan bom nuklir terbesar yang pernah diledakkan manusia, Tsar Bomba milik Uni Soviet, yang "hanya" menghasilkan sekitar 50 megaton.

Akibat letusan, pulau Krakatau hancur. Gelombang kejut menjalar ke seluruh dunia, sementara suara letusan mencapai sekitar 310 desibel, cukup keras untuk merusak gendang telinga pelaut di kapal berjarak lebih dari 60 kilometer. Tsunami raksasa yang dipicu erupsi menyapu pantai-pantai di sekitarnya, menewaskan lebih dari 36 ribu orang dan menghancurkan sedikitnya 165 desa.

Namun, dampaknya jauh melampaui Asia Tenggara. Abu vulkanik dan gas sulfur yang terlontar ke atmosfer menghalangi cahaya Matahari selama berbulan-bulan, menyebabkan suhu global turun sekitar 0,6 derajat Celsius. Langit di berbagai belahan dunia berubah dramatis: Matahari terbit dan terbenam terlihat merah menyala, terkadang memunculkan semburat hijau giok, sementara Bulan tampak berwarna biru pekat.

Fenomena optik itu terjadi karena partikel aerosol vulkanik di udara menyebarkan cahaya dengan cara yang tidak biasa. Biasanya, cahaya merah mendominasi saat senja karena panjang gelombangnya lebih kuat melewati atmosfer. Namun, dengan kehadiran partikel sulfat, warna merah semakin intensif, ditambah kilauan ungu dan hijau yang jarang terlihat.

Media pada masa itu pun menyoroti pemandangan langit yang tak biasa. The New York Times dalam edisi November 1883 menggambarkan bagaimana cakrawala tiba-tiba berubah menjadi merah darah dan membuat banyak orang di jalanan terperangah.

Sejumlah sejarawan seni bahkan menduga, langit surealis setelah letusan Krakatau turut mengilhami lukisan ikonik “The Scream” karya Edvard Munch. Sang pelukis pernah menulis catatan pribadi yang menyebutkan bagaimana ia melihat langit merah darah yang menimbulkan perasaan cemas dan kesepian gambaran yang akhirnya ia tuangkan ke dalam mahakarya ekspresionisnya satu dekade setelah letusan. (*)

Kategori :