8 Sengketa Pilkada 2024 Masuk MK, 3 dari Daerah Sumsel
8 Sengketa Pilkada 2024 Masuk MK, 3 dari Daerah Sumsel --Foto:ist
Sengketa ini diajukan oleh masyarakat atau lembaga pemantau yang merasa dirugikan oleh sistem atau proses Pilkada yang berlangsung.
Ajid menggarisbawahi bahwa sengketa di daerah dengan calon tunggal menunjukkan adanya potensi ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada.
"Meskipun calon tunggal tampak dominan, gugatan-gugatan ini menggambarkan bahwa ada kelompok yang merasa sistem politik yang ada tidak inklusif dan adil," ujarnya.
BACA JUGA:PT Bukit Asam Raih Gold di Serelo CSR Award 2024
BACA JUGA:Pelantikan Kepala Daerah Diperkirakan Maret 2025
Ia menambahkan, calon tunggal sering dipandang sebagai representasi dari kekuatan politik yang dominan di suatu daerah. Namun, sistem ini masih memungkinkan adanya kritik dan perlawanan, termasuk dari masyarakat yang menginginkan lebih banyak keterlibatan dalam politik.
Menurut data dari situs resmi MK hingga Jumat (20/12), tercatat ada 312 permohonan sengketa Pilkada 2024. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berasal dari pasangan calon (287 perkara atau 91,99%), diikuti oleh masyarakat (16 perkara atau 5,45%), dan lembaga pemantau (8 perkara atau 2,56%).
Ajid menyatakan bahwa angka ini mencerminkan tingginya persaingan politik di berbagai daerah."Peserta Pilkada memanfaatkan jalur hukum sebagai langkah terakhir untuk memperjuangkan hasil Pilkada yang mereka anggap sah," jelasnya.
Meski permohonan dari masyarakat dan lembaga pemantau jumlahnya lebih kecil, hal ini tetap menunjukkan partisipasi publik dalam mengawasi jalannya Pilkada.
BACA JUGA:Kota Prabumulih Masuk 9 Wilayah Rawan Banjir di Sumsel
BACA JUGA:Ratusan Buruh Sumsel Desak Pj Gubernur Mundur! Serukan Revisi UMSP 2025
"Partisipasi publik ini sangat penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam proses demokrasi," tambahnya.
Fenomena sengketa di daerah dengan calon tunggal ini menunjukkan tantangan besar dalam mewujudkan pemilu yang lebih inklusif dan adil.
Perludem mengungkapkan bahwa penyebab utama ketidakpuasan ini adalah kurangnya alternatif politik di daerah-daerah tersebut.
"Sengketa ini bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap sistem yang ada. Sistem politik kita perlu memberi ruang lebih untuk partisipasi," ujar Ajid.