Jakarta - Asosiasi penyedia layanan seluler global, GSMA, memperingatkan Indonesia terkait potensi kehilangan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp 216 triliun jika masih menerapkan biaya frekuensi seluler pakai skema lama. Terkait itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) buka suara.
Dalam laporan GSMA mengungkapkan biaya spektrum frekuensi di Indonesia telah meningkat secara signifikan. Itu bisa menjadi ancaman besar bagi operator seluler yang ingin berinvestasi dalam infrastruktur digital masa depan Indonesia.
BACA JUGA:Polytron Ingin Latih Anak Muda Indonesia Jago Desain Chip
Dengan kemunculan lelang spektrum frekuensi terbaru yang akan segera dilakukan di Indonesia, laporan GSMA, mengungkapkan bahwa rencana Pemerintah Indonesia untuk mendorong transformasi digital bisa terhambat, kecuali dilakukan peninjauan kembali terhadap penetapan harga spektrum seluler 5G.
"Ini masukan yang bagus ya, bagi task force. Memang menjadi perhatian dan cukup selaras. Mengenai roadmap, kita juga siapkan," ujar Direktur SDPPI Kementerian Kominfo, Denny Setiawan beberapa waktu lalu.
Disampaikannya juga, Kominfo pun tengah mempertimbangkan biaya frekuensi seluler saat ini untuk diterapkannya di spektrum yang baru.
BACA JUGA:Ayo Laporkan Nomor Telepon Penipu ke Sini, Biar Diblokir!
"Kita juga mempertimbangkan agar tidak sama dengan yang lama. Tentunya (laporan GSMA) itu masukan yang bagus, tetapi kita harus melihat ini jangan sampai berubah PP lagi, PP-nya baru terbit, nanti kita diubah lagi jadi lama. Apa yang di dalam PP bisa kita lakukan, cari parameter itu bisa implementasikan," tuturnya.
"Pada prinsipnya, kita menyambut baik dan melihat tapi disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Ada hal-hal yang bisa kita pertimbangkan, ada juga yang misalnya perubahan peraturan juga tidak mudah," sambungnya.
Sebelumnya, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengungkapkan kondisi industri telekomunikasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Hal itu yang perlu diperhatikan, mengingat operator seluler menjadi roda penggerak ekonomi digital yang sedang bertumbuh.
Wakil Ketua ATSI Merza Fachys menuturkan industri telekomunikasi berubah pesat dalam satu dekade terakhir, dari semula layanan telekomunikasi melayani telepon dan SMS, kini mayoritas untuk penggunaan internet.
ATSI telah melakukan kajian yang berkolaborasi dengan APJII, Apjatel, dan Askalsi kemudian menggaet konsultan terkait dengan rasionalisasi PNBP dan perizinan yang sudah sampai ke Presiden Joko Widodo. Hasilnya, dibentuk task force dan joint planning, di mana Menkominfo Budi Arie Setiadi menugaskan Dirjen SDPPI dan Dirjen PPI membahas insentif PNBP bagi industri telekomunikasi.
"Regulatory charge saat ini menurut kajian global sudah berada di area tidak sehat. Kenapa? karena sudah menyerap 12% pendapatan, sedangkan kalau mau sehat industrinya itu harus di bawah 10%. Regulatory charge tidak hanya frekuensi tapi ada beberapa hal lainnya, namun yang terbesar itu frekuensi," tutur Merza.
"Pendapatan operator saat ini tidak setinggi di masa lalu. Saat ini, pendapatan industri operator seluler hanya tumbuh 5,6%. Padahal, BHP frekuensi pertumbuhannya lebih dari 10%, sehingga tumbuhnya pendapatan ini tidak seimbang dengan regulatory charge yang kita bayar. Begitu juga pertumbuhan trafik mencapai 80,7% tidak berkontribusi signifikan terhadap peningkatan pendapatan operator," ungkapnya. (dc)