Matahari Memasuki Fase Solar Maximum, NASA Jelaskan Dampaknya

Foto: Courtesy of All About Lapland/Alexander Kuznetsov/Handout via REUTERS--

KORANPRABUMULIHPOS.COM – Matahari kini telah mencapai fase 'solar maximum' yang diperkirakan akan berlangsung selama satu tahun atau bahkan lebih lama, menurut para ahli dari NASA dan Solar Cycle 25 Prediction Panel di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Fase ini meningkatkan kemungkinan terjadinya fenomena aurora yang disebabkan oleh badai geomagnetik, seperti yang terjadi pada 10-11 Oktober dengan badai G4 dan pada 10-11 Mei dengan badai G5. Badai Matahari kali ini diprediksi menjadi yang paling intens dalam dua dekade terakhir, bahkan mungkin dalam 500 tahun terakhir.

"Apa yang kita saksikan saat ini menunjukkan bahwa Matahari telah memasuki fase puncak siklus Matahari," ungkap Lisa Upton, salah satu ketua Solar Cycle 25 Prediction Panel dan ilmuwan utama di Southwest Research Institute, dalam wawancara yang dikutip dari Forbes.

Upton menjelaskan bahwa meskipun badai Matahari dapat terjadi kapan saja dalam siklus Matahari, frekuensinya akan meningkat selama fase solar maximum. "Kami memperkirakan fase maksimum ini akan berlangsung setidaknya enam bulan hingga satu tahun, mungkin lebih lama. Ini berarti kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami badai geomagnetik yang kuat selama fase ini," tambahnya.

Badai Matahari Hebat

Aurora terjadi akibat badai geomagnetik yang intens, ketika partikel bermuatan dari Matahari bertabrakan dengan medan magnet Bumi. Partikel ini kemudian bergerak di sepanjang garis medan magnet menuju kutub utara dan selatan, menciptakan cahaya aurora berwarna hijau dan merah.

Fase solar maximum, yaitu periode ketika Matahari mencapai puncak aktivitas magnetik, menyebabkan peningkatan frekuensi badai geomagnetik. Meskipun siklus Matahari biasanya berlangsung sekitar 11 tahun, siklus saat ini tampaknya lebih singkat dari biasanya.

Hal ini berarti fase puncak Matahari bisa berlangsung lebih lama, dengan potensi badai geomagnetik yang lebih sering dan intens hingga tahun 2026. Siklus Matahari yang lebih pendek cenderung memiliki puncak yang lebih lama, sementara siklus yang lebih panjang biasanya memiliki fase puncak yang lebih tajam dan singkat, seperti yang terjadi saat ini.

BACA JUGA:Apple dan Samsung Bersaing Ketat di Pasar Smartphone Global, Xiaomi Mengikuti di Belakang

Frekuensi Aurora Meningkat

Elsayed Talaat, direktur operasi cuaca luar angkasa di NOAA, menjelaskan bahwa pengumuman ini bukan berarti fase puncak aktivitas Matahari telah tercapai. "Meski Matahari telah mencapai periode puncak, kapan aktivitas Matahari mencapai titik tertinggi belum bisa dipastikan hingga beberapa bulan atau tahun ke depan," katanya.

Penurunan aktivitas Matahari yang stabil harus diamati untuk menentukan kapan fase puncak benar-benar berakhir. Namun, hal ini tidak berarti jumlah aurora akan menurun. Justru, dengan memasuki fase puncak yang mungkin berlangsung selama dua tahun, kita bisa mengharapkan lebih banyak fenomena aurora.

Lisa Upton juga menambahkan bahwa fase penurunan Matahari setelah puncak tidak selalu berarti pengurangan dampak. "Fase penurunan ini sering kali disertai dengan peristiwa badai Matahari yang kuat," jelasnya.

Bill Murtagh, koordinator program di Space Weather Prediction Center NOAA, menegaskan bahwa badai geomagnetik yang terjadi setelah puncak siklus ini berpotensi memicu aurora yang terlihat lebih jauh ke selatan dari biasanya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan
IKLAN
PRABUMULIHPOSBANNER