Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat terus mendorong agar terwujudnya nihil kecelakaan (zero accident) pada Transportasi Sungai, Danau dan Penyebrangan (TSDP). Hal ini sebagai upaya keselamatan.
Direktur Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan, Lilik Handoyo mengatakan perlu komitmen bersama baik dari Regulator, Operator dan pengguna jasa untuk menjadikan keselamatan sebagai budaya sehingga pemenuhan aturan tentang keselamatan kapal, kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal menjadi tidak lagi sekadar pemenuhan tanggung jawab dan kewajiban, melainkan sudah menjadi kebutuhan.
"Saat ini ada beberapa permasalahan mendasarnya di antaranya armada kapal yang tidak laik berlayar, lemahnya penerapan dan pemenuhan standar keselamatan, dan tidak adanya pengawasan keselamatan," kata Lilik dalam keterangan tertulis, Senin (27/11/2023).
Menurutnya, keselamatan harus menjadi budaya institusi, operator atau stakeholders. Dimulai dari evaluasi resiko (risk management), mitigasi, contingency plan, hingga penerapan aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh kapal.
Untuk menerapkan keselamatan pada TDSP, telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 91 Tahun 2021 bahwa zonasi di kawasan pelabuhan yang digunakan untuk melakukan angkutan terbagi atas beberapa zona.
Pertama zona A, yaitu A1 loket, parkir kendaraan bagi pengantar, A2 ruang tunggu bagi calon penumpang dan A3 pemeriksaan tiket penumpang. Lalu Zona B yang terdiri dari B1 jembatan timbang dan toll gate kendaraan, B2 antrian kendaraan yang akan menyeberang dan B3 untuk area muat kendaraan siap masuk kapal/pemeriksaan tiket kendaraan.
Lalu zona selanjutnya, kata Lilik adalah Zona C yang terdiri Dermaga dan fasilitasnya, Bunker BBM, Fasilitas Air Tawar, Fasilitas yang ditetapkan sebagai fasilitas vital. Selanjutnya Zona D yang merupakan wilayah khusus terbatas dan area komersil. Terakhir Zona E yang merupakan area parkir kendaraan yang sudah memiliki tiket namun belum waktunya masuk Pelabuhan Penyeberangan.
"Untuk meningkatkan keselamatan, pemerintah telah mengatur dalam proses naiknya kendaraan ke atas kapal penyeberangan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 103 Tahun 2017 di mana setiap pelabuhan penyeberangan wajib menyediakan fasilitas portal dan jembatan timbang," jelasnya.
Fasilitas portal sebagaimana dimaksud adalah memiliki ketinggian yang disesuaikan dengan tinggi geladak kapal pada lintasan. Kendaraan yang mengangkut barang berbahaya wajib melaporkan kepada Operator Pelabuhan.
Terkait kendaraan yang mengangkut barang berbahaya dan beracun (B3), rujukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran di mana operator kapal wajib lapor ke Syahbandar sebelum kapal yang akan mengangkut barang berbahaya tiba.
Lalu Syahbandar melakukan pengawasan bongkar muat barang berbahaya. Sedangkan operator pelabuhan wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan barang berbahaya dan barang khusus untuk menjamin keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas barang di pelabuhan.
"Dalam aturan tersebut juga ada sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar. Jika mengangkut B3 tidak sesuai spesifikasi, ada pidana 3 tahun dan denda Rp 400 juta. Jika menyebabkan kerugian harta, pidana 4 tahun dan denda Rp 500 juta. Jika menyebabkan kematian dan kerugian harta, maka pidana 10 tahun dan denda Rp 1,5 miliar," katanya.
Tidak hanya itu, bagi kendaraan yang tidak melakukan pemberitahuan kepada syahbandar maka akan terkena pidana enam bulan dan denda Rp 100 juta. Hal serupa bagi Nakhoda yang melakukan bongkar/muat barang berbahaya tanpa persetujuan Syahbandar akan terkena pidana enam bulan dan denda Rp 100 juta. (dc)