SUMSEL - tau ajakan untuk melakukan boikot pro produk Israel dan pendukungnya semakin meluas di berbagai negara. Tanpa terkecuali di Indonesia.
Di Indonesia, seruan tersebut ternyata tidak berpengaruh signifikan, meskipun sebenarnya Indonesia termasuk salah satu negara mayoritas muslim terbesar yang mendukung perjuangan Palestina.
Hal itu disebabkan ada beberapa faktor, salah satunya dampak yang ditimbulkan untuk masyarakat sendiri.
Seperti yang diungkapkan Junaidi, warga Kota Lubuklinggau Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).
"Kita tidak bisa asal boikot, yang harus kita pikirkan karyawan dan tenaga yg bekerja, dampaknya pasti luar biasa," ungkap Junaidi.
Terlebih lanjutnya, sekarang perekonomian masyarakat sangat sulit. "Kalau perusahaannya merugi, karyawannya juga akan terdampak dan bisa saja terjadi PHK (Pemutusan hubungan Kerja)," ujar Alumni SMEA Negeri 1 Lubuklinggau ini.
Terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Lubuklinggau KH Syaiful Hadi, menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa asal boikot.
"Boleh-boleh saja melakukan boikot terhadap produk tertentu asalkan dampaknya tidak kembali kepada sendiri," kata pemilik pondok pesantren Ar Risalah Lubuklinggau ini.
Dicontohkan Syaiful, boleh saja memboikot produk makan dan minuman, asalkan ada solusi penggantinya.
"Seperti misalnya produk pasta gigi merk Pepsodent diboikot tapi kita sudah ada produk penggantinya seperti pasta gigi merk Sikwak atau produk negara muslim lainnya," jelas Syaiful.
Selain itu lanjut Syaiful, seharusnya Boikot ini bukan dilakukan masyarakat sendiri, melainkan dilakukan oleh Pemerintah.
Karena tujuan boikot ini untuk menekan Israel agar menghentikan penyerangan di Palestina.
"Pemerintah harusnya yang melakukan baikot, karena negara ada duta besar nya, jadi pemerintah bisa saja menyatakan memboikot atas desakan rakyat Indonesia sehingga bisa lebih efektif dalam memberikan tekanan terhadap Israel," jelas Syaiful.
Karena itu menurut Syaiful, merupakan salah satu tugas pemerintah untuk melakukan hubungan diplomatik ke suatu negara atau sebaliknya menghentikan hubungan diplomatik ke suatu negara.
"Jadi pemerintah punya kekuatan untuk itu, bukan masyarakat atau rakyat yang melakukannya," tegas Syaiful.