Guru Besar FK UNS Soroti Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Guru besar FK UNS kritik kebijakan PPDS berbasis RS. Begini sebabnya. Foto: Humas UNS--
KORANPRABUMULIHPOS.COM – Sejumlah guru besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (FK UNS) mengkritik kebijakan baru yang dikeluarkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait penyelenggaraan program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Kebijakan yang mulai diberlakukan sejak tahun lalu ini menjadikan rumah sakit sebagai basis utama pendidikan dokter spesialis.
Dekan FK UNS sekaligus Guru Besar, Prof. Dr. Reviono, dr., SpP(K), mengungkapkan bahwa sistem pendidikan dokter spesialis sejatinya telah mengandalkan rumah sakit, mengingat sekitar 90 persen proses belajar berlangsung di rumah sakit pendidikan. Namun, hingga kini, aspek seleksi, kurikulum, serta pengawasan akademik tetap berada di bawah kendali perguruan tinggi.
Pada Mei 2024, Kementerian Kesehatan secara resmi memperkenalkan PPDS berbasis rumah sakit, dengan penunjukan Rumah Sakit Pendidikan sebagai Penyelenggara Utama (RSP-PU). Ini menciptakan dua model penyelenggaraan: PPDS berbasis rumah sakit dan PPDS berbasis universitas.
Dikutip dari laman resmi Kemenkes, Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, dr. Siti Nadia Tarmizi M.Epid, menjelaskan bahwa program PPDS berbasis RS mulai dibuka pada semester ganjil 2024/2025 di sejumlah rumah sakit:
-
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita – Penyakit Jantung (10 kuota)
-
RS Pusat Otak Nasional – Neurologi (10 kuota)
-
RS Ortopedi Soeharso – Orthopaedi dan Traumatologi (10 kuota)
-
RS Anak dan Bunda Harapan Kita – Kesehatan Anak (8 kuota)
-
RS Mata Cicendo – Kesehatan Mata (8 kuota)
-
RS Kanker Dharmais – Onkologi Radiasi (6 kuota)
Semua RS tersebut sebelumnya juga telah berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan bagi fakultas kedokteran.
Prof. Reviono menyampaikan kekhawatiran bahwa jika satu rumah sakit menjalankan dua sistem PPDS sekaligus—yakni berbasis universitas dan berbasis rumah sakit—bisa terjadi ketimpangan perlakuan terhadap peserta didik serta konflik sistemik dalam manajemen pendidikan.
Menurutnya, selama ini model pendidikan berbasis perguruan tinggi sudah berjalan dengan baik dan terbukti menghasilkan dokter spesialis yang kompeten dan diakui di tingkat internasional. Ia menekankan pentingnya integrasi antara pelayanan dan pembelajaran dalam proses pendidikan dokter.
Enam Pernyataan Sikap FK UNS Terkait PPDS Berbasis RS
Dalam forum akademik bertajuk Suara Sang Semar: Seruan Nurani Guru Besar FK UNS yang digelar pada 20 Mei 2025, para guru besar FK UNS menyampaikan enam butir pernyataan, antara lain:
-
PPDS berbasis RS sebaiknya tidak mengganggu jalannya PPDS berbasis universitas yang telah berjalan.
-
Kebijakan baru hendaknya tidak diterapkan di rumah sakit pendidikan utama dari FK yang sudah beroperasi.
-
FK UNS tetap berkomitmen menjaga mutu pendidikan kedokteran demi menghasilkan tenaga medis yang profesional dan beretika.
-
Konsep pendidikan kedokteran harus mengusung sistem academic health systems yang mengintegrasikan pembelajaran dan pelayanan.
-
Implementasi kebijakan harus dilandasi kerja sama dan saling percaya antar pemangku kepentingan.
-
FK UNS meminta Kemenkes membuka ruang dialog dengan Kemendikbudristek, perguruan tinggi, organisasi profesi, serta institusi lain yang relevan untuk menyelaraskan kebijakan berdasarkan musyawarah dan regulasi yang berlaku.
Forum ini dihadiri sembilan guru besar dari FK UNS, termasuk Prof. Endang Sulaeman, Prof. Yusup Subagio, Prof. Trisulo Wasyanto, Prof. Ari Natalia Probandari, Prof. Reviono, Prof. Sri Sulistyowati, Prof. Bambang Purwanto, Prof. Ida Nurwati, dan Prof. Tonang Dwi Ardyanto.
Respons Menkes
Menanggapi kritik yang berkembang, Menkes Budi Gunadi menyatakan bahwa perubahan sistem dalam rangka transformasi layanan kesehatan memang bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Namun, ia menegaskan bahwa prioritas utama tetap pada masyarakat sebagai penerima manfaat layanan kesehatan.