Fenomena #KaburAjaDulu: Ungkapan Kekecewaan atau Pilihan Rasional?
![](https://prabumulihpos.bacakoran.co/upload/672558c734b7beb1adc0ed722febacc9.jpg)
--
KORANPRABUMULIHPOS.COM – Media sosial kembali dihebohkan dengan tagar #KaburAjaDulu yang ramai diperbincangkan di platform X. Banyak warganet yang menggunakan tagar ini untuk berbagi pengalaman tentang pindah ke luar negeri atau keinginan meninggalkan Indonesia.
Fenomena ini mendapat perhatian dari Enda Nasution, pengamat media sosial sekaligus Koordinator Bijak Bersosmed. Menurutnya, tagar ini sebenarnya bukan hal baru, namun kembali populer sebagai bentuk kekecewaan terhadap situasi ekonomi, kondisi lapangan kerja, serta faktor sosial lainnya yang dirasakan sebagian masyarakat.
“Tagar ini terus bergema karena banyak orang yang merasa sulit mendapatkan pekerjaan atau menghadapi tekanan budaya kerja yang tidak nyaman. Ditambah lagi, ada anggapan bahwa bekerja di luar negeri menawarkan gaji lebih besar, pengalaman lebih luas, dan kesempatan berkembang yang lebih baik,” ujar Enda.
Tagar Sebagai Peta Digital Perbincangan
Menurut Enda, penggunaan hashtag di media sosial bisa dianalogikan sebagai tanda jalan yang mengarahkan perbincangan ke dalam satu tema tertentu. Dalam hal ini, #KaburAjaDulu mengumpulkan berbagai opini, pengalaman, hingga informasi seputar keinginan untuk bekerja atau hidup di luar negeri.
“Dengan satu klik pada tagar tersebut, pengguna dapat langsung melihat berbagai percakapan yang masih berkaitan dengan isu tersebut,” jelasnya.
Bagaimana Menyikapi #KaburAjaDulu dengan Bijak?
Sebagai ruang publik digital, media sosial sering kali menjadi tempat bagi masyarakat untuk mengekspresikan perasaan dan aspirasi, terutama bagi generasi muda. Enda menekankan bahwa viralnya sebuah tagar biasanya terjadi karena banyak orang yang merasa terhubung dengan topik tersebut.
“Banyak yang ikut dalam diskusi bukan hanya karena mengalami hal yang sama, tapi juga karena tertarik untuk beropini atau menambahkan perspektif baru,” tambahnya.
Namun, dalam menanggapi isu viral seperti ini, penting bagi pengguna media sosial untuk bersikap skeptis sebelum memberikan opini. Enda mengingatkan agar tidak terburu-buru menyimpulkan atau bereaksi secara emosional tanpa memahami lebih dalam konteks perbincangan.
“#KaburAjaDulu bisa dianggap sebagai opsi yang masuk akal bagi sebagian orang, namun ada juga yang menilai bahwa bekerja di luar negeri tidak selalu lebih baik atau bahkan menganggapnya sebagai tindakan yang tidak nasionalis,” paparnya.
Pada akhirnya, diskusi di media sosial bersifat dialogis, bukan sekadar perdebatan tentang benar atau salah. Setiap individu bebas mengambil kesimpulan dan memutuskan perspektif mana yang ingin mereka ikuti.
“Percakapan di media sosial adalah ruang untuk bertukar pandangan. Tidak ada yang 100% benar atau salah, tetapi kita bisa belajar dari berbagai sudut pandang yang ada,” tutupnya. (*)