Dibangun Sejak 1841, Kelenteng Kwan Tie Miaw Pangkalpinang Sempat Terbakar di 1998
![](https://prabumulihpos.bacakoran.co/upload/05ed9f3f3c081db6160ff38d305aa119.jpg)
Kelenteng Kwan Tie Miaw Pangkalpinang: Sejarah, Pergantian Nama, dan Tragedi Kebakaran 1998--
KORANPRABUMULIHPOS.COM – Kelenteng Kwan Tie Miaw merupakan salah satu rumah ibadah tertua di Pulau Bangka yang memiliki sejarah panjang sejak abad ke-19. Didirikan oleh para pekerja tambang timah keturunan Tionghoa, khususnya dari etnis Hakka, kelenteng ini menjadi pusat ibadah dan kebudayaan bagi komunitas Tionghoa di Bangka Belitung.
Kelenteng yang berlokasi di Jalan Mayor Muhidin, Pangkalpinang ini telah mengalami beberapa kali pergantian nama. Awalnya bernama Kwan Tie Bio, kemudian diubah menjadi Kelenteng Amal Bakti pada era Orde Baru, dan akhirnya dikenal sebagai Kwan Tie Miaw setelah pemugaran pasca kebakaran besar tahun 1998.
Arsitektur dan Makna Simbolik
Berdiri di atas lahan seluas 12,5 x 24 meter, Kelenteng Kwan Tie Miaw mengusung arsitektur khas Tiongkok dengan dominasi warna merah dan kuning. Di dalamnya terdapat dua lonceng besi serta ornamen berbentuk buah labu (gourd), yang dipercaya membawa keberuntungan.
Pada puncak bangunan, terdapat simbol yin-yang dan patkwa (pakua) yang melambangkan keseimbangan serta keberuntungan menurut kepercayaan Taoisme. Saat memasuki kelenteng, aroma garu (dupa) langsung tercium, menandakan kegiatan persembahyangan yang rutin dilakukan.
Di dalam kelenteng, terdapat 13 patung dewa, dengan Dewa Kwan Tie sebagai figur utama. Ia merupakan sosok yang dihormati dalam kepercayaan Tionghoa, di samping dewa-dewa lainnya.
Sejarah dan Kedatangan Pekerja Tambang Tionghoa
Berdasarkan catatan Belanda dalam Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, Bundel Bangka Nomor 41, masyarakat Tionghoa telah memiliki tempat ibadah sejak lama di Pulau Bangka.
Menurut Dato Akhmad Elvian, seorang sejarawan dan budayawan penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, Kelenteng Kwan Tie Miaw dibangun pada tahun 1841 Masehi dan diresmikan pada tahun 1846 Masehi. Hal ini dibuktikan melalui aksara Tionghoa yang terukir pada lonceng besi di dalam kelenteng.
"Dari plakat yang ditemukan, peresmian kelenteng ini dilakukan pada tahun ke-26 Dinasti Daoguang, yang bertepatan dengan tahun 1846 Masehi," ujar Elvian.
Gelombang kedatangan masyarakat Tionghoa ke Pulau Bangka sendiri sudah dimulai sejak masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo (1724-1757 M) dan Sultan Ahmad Najamuddin I Adikusumo (1757-1776 M). Mereka umumnya bekerja di sektor pertambangan timah yang saat itu berkembang pesat di wilayah Bangka.
Pergantian Nama dan Kebakaran Besar Tahun 1998
Nama Kwan Tie Bio sempat diubah menjadi Kelenteng Amal Bakti pada era Orde Baru, seiring dengan kebijakan penyesuaian nama bernuansa lokal. Namun, tragedi terjadi pada tahun 1998, ketika kelenteng ini mengalami kebakaran hebat.
Setelah kebakaran tersebut, kelenteng direnovasi dan akhirnya diresmikan kembali pada 5 Agustus 1999 dengan nama Kwan Tie Miaw, yang tetap digunakan hingga sekarang.
Tradisi dan Ritual di Kelenteng Kwan Tie Miaw
Kelenteng ini menjadi pusat berbagai ritual keagamaan, termasuk sembahyang rutin yang dilakukan setiap tanggal 1 dan 15 kalender Imlek untuk memohon keselamatan. Selain itu, beberapa upacara besar juga digelar setiap tahun, antara lain:
- Pot Ngin Bun (hari ke-13 bulan ke-5 Imlek) – Ritual khas yang hanya ada di Pangkalpinang, di mana arakan dewa-dewa keliling kota dilakukan.
- Hari Lahir Pangeran Kuan-Pin (tanggal 24 bulan ke-6 Imlek) – Dimeriahkan dengan prosesi arakan dan persembahan.
- Sembahyang Tahun Baru Imlek – Digelar pada pukul 23.00 WIB (Sam Sip Fu) sebagai bentuk syukur atas berkah yang diterima.
- Sembahyang Rebut (Ghost Festival) – Ritual sedekah untuk para leluhur yang sudah meninggal.
Kelenteng Kwan Tie Miaw tetap menjadi simbol keberagaman dan bukti akulturasi budaya yang telah bertahan selama lebih dari satu setengah abad di Pulau Bangka. Dengan sejarahnya yang panjang, tempat ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai saksi perjalanan masyarakat Tionghoa di Indonesia. (*)